Sebuah kata bisa sangat penting jika sudah terdaftar atau tergabung atau diakui oleh kamus besar bahasa Indonesia. Nah, hal semacam ini pun menjadikan sebuah kata bisa bersifat baku atau resmi dan bisa digunakan di seluruh Indonesia. Bukan hanya itu saja! Namun, semua kata-kata yang sudah terdaftar dalam KBBI pun bisa menjadi salah satu acuan untuk berkomunikasi dan lainnya.
Kemudian, pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana proses atau syarat sebuah kata bisa masuk ke dalam KBBI? Mungkin, sebagian orang pernah bertanya semacam itu dan sebaliknya. Nah, hal-hal semacam itu pun bisa berupa tanda tanya yang besar jikalau tak dicari jawabannya. Maka, dalam tulisan ini akan sedikit membahas proses sebuah kata bisa diakui oleh KBBI.
Pertama yang harus diketahui bahwa sebuah kata yang ingin masuk atau diakui di KBBI itu, yaitu harus sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia secara sematis, leksikal, fonetis, pragmatis, dan penggunaan. Nah, semua itu pun bisa diwakili oleh beberapa ini:
1. Unik
Unik dalam artian ini adalah kata yang diusulkan baik dari bahasa daerah ataupun asing itu memiliki makna yang belum ada di dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, hal semacam ini pun sering diambil dari bahasa daerah sehingga bisa menjadi satu kesatuan atau diusulkan masuk ke dalam KBBI. Harus diketahui juga bahwa kata-kata tersebut juga bisa berfungsi untuk menutup rumpang leksikal, kekosongan makna dalam bahasa Indonesia. Nah, contohnya seperti 'tinggimini', yaitu sebuah tradisi yang ada di Papua. Kemudian, bisa berarti juga berupa pemotongan jari tangan sebagai bentuk kedukaan terhadap keluarga yang telah meninggal dunia.
2. Eufonik
Nah, dalam eufonik ini adalah kata yang diusulkan tidak mengandung bunyi yang tak lazim dalam bahasa Indonesia ataupun lainnya. Oleh karena itu, kata ini pun bisa lebih mirip dengan kata yang sering diungkapkan menggunakan bahasa Ibu. Maka, salah satu yang diingat itu atau rumus yang mempunyai akhiran 'g' dalam bahasa Betawi/Sunda/Jawa itu di dalam bahasa Indonesia menjadi 'k'. Kemudian, 'eu' dalam bahasa Sunda itu menjadi 'e' di dalam bahasa Indonesia. Nah, hal-hal semacam itu pun patut diketahui seperti contoh di bawah ini:
3. Seturut kaidah dalam bahasa Indonesia
Bagian nomor tiga ini pun bisa berarti bahwa kata tersembut juga dapat dibentuk dan membentuk kata lain sesuai kaidah dalam bahasa Indonesia, seperti pengimbuhan dan pemajemukan. Nah, bisa dilihat dari contoh sebagai berikut:
4. Tidak berkonotasi negatif
Harus diketahuu juga bahwa kata yang berkonotasi negatif tak akan diterima untuk masuk karena mungkin saja tak diterima juga oleh kalangan pengguna tinggi. Kemudian, bukan hanya itu saja! Namun, bisa juga kata itu memiliki makna sama yang belum ada di dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dari beberapa kata yang sama itu bisa dipilih yang berkonotasi lebih positif saja untuk masuk ke dalam KBBI. Bisa diketahui dari contoh 'lokalisasi' dan 'pelokalan' yang memiliki makna sama, tapi bentuk terakhir lebih dianjurkan karena berkonotasi positif.
5. Kerap dipakai
Kata yang dimaksud di sini adalah sebuah kata yang sering atau kerap dipakai. Oleh karena itu, letaknya pun sangat penting sehingga bisa menjadi populer diungkapkan. Bukan karena itu saja! Akan tetapi, pemakaian sebuah kata pun bisa diukur menggunakan frekuensi dan julat.
Nah, hal-hal semacam itu pun bisa berupa cara untuk mengetahui bahwa kata-kata tersebut kerap dipakai atau tidak sehingga bisa efisien. Kemudian, harus diketahui juga bahwa cara kerja frekuensi dalam hal ini pun adalah kekerapan kemunculan kata dalam korpus, sedangkan julat adalah ketersebaran kemunculan kata tersebut di beberapa wilayah.
Nah, hal semacam itu pun bisa menjadi sebuah syarat untuk sebuah kata agar bisa masuk ke dalam KBBI. Oleh karena itu, hal semacam itu pun sangat penting. Ya, penting agar bisa diketahui bahwa sebuah kata untuk masuk atau terdaftar dalam kamus besar bahasa Indonesia itu tak mudah. Sebab, ada syarat-syaratnya yang harus dipenuhi.
Bukan hanya itu saja! Namun, salah satu kesatuan dalam semua itu pun harus bisa dipahami. Ya, dipahami agar mudah juga dalam mengusulkan ataupun lainnya. Sebab, beberapa syarat itu pun harus dipenuhi agar usulannya bisa didengar dan lainnya.
Kemudian, pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana proses atau syarat sebuah kata bisa masuk ke dalam KBBI? Mungkin, sebagian orang pernah bertanya semacam itu dan sebaliknya. Nah, hal-hal semacam itu pun bisa berupa tanda tanya yang besar jikalau tak dicari jawabannya. Maka, dalam tulisan ini akan sedikit membahas proses sebuah kata bisa diakui oleh KBBI.
Pertama yang harus diketahui bahwa sebuah kata yang ingin masuk atau diakui di KBBI itu, yaitu harus sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia secara sematis, leksikal, fonetis, pragmatis, dan penggunaan. Nah, semua itu pun bisa diwakili oleh beberapa ini:
1. Unik
Unik dalam artian ini adalah kata yang diusulkan baik dari bahasa daerah ataupun asing itu memiliki makna yang belum ada di dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, hal semacam ini pun sering diambil dari bahasa daerah sehingga bisa menjadi satu kesatuan atau diusulkan masuk ke dalam KBBI. Harus diketahui juga bahwa kata-kata tersebut juga bisa berfungsi untuk menutup rumpang leksikal, kekosongan makna dalam bahasa Indonesia. Nah, contohnya seperti 'tinggimini', yaitu sebuah tradisi yang ada di Papua. Kemudian, bisa berarti juga berupa pemotongan jari tangan sebagai bentuk kedukaan terhadap keluarga yang telah meninggal dunia.
Nah, dalam eufonik ini adalah kata yang diusulkan tidak mengandung bunyi yang tak lazim dalam bahasa Indonesia ataupun lainnya. Oleh karena itu, kata ini pun bisa lebih mirip dengan kata yang sering diungkapkan menggunakan bahasa Ibu. Maka, salah satu yang diingat itu atau rumus yang mempunyai akhiran 'g' dalam bahasa Betawi/Sunda/Jawa itu di dalam bahasa Indonesia menjadi 'k'. Kemudian, 'eu' dalam bahasa Sunda itu menjadi 'e' di dalam bahasa Indonesia. Nah, hal-hal semacam itu pun patut diketahui seperti contoh di bawah ini:
• ojeg> ojek
• keukeuh> kekeh
3. Seturut kaidah dalam bahasa Indonesia
Bagian nomor tiga ini pun bisa berarti bahwa kata tersembut juga dapat dibentuk dan membentuk kata lain sesuai kaidah dalam bahasa Indonesia, seperti pengimbuhan dan pemajemukan. Nah, bisa dilihat dari contoh sebagai berikut:
• kundur > (ter)kunduri
4. Tidak berkonotasi negatif
Harus diketahuu juga bahwa kata yang berkonotasi negatif tak akan diterima untuk masuk karena mungkin saja tak diterima juga oleh kalangan pengguna tinggi. Kemudian, bukan hanya itu saja! Namun, bisa juga kata itu memiliki makna sama yang belum ada di dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dari beberapa kata yang sama itu bisa dipilih yang berkonotasi lebih positif saja untuk masuk ke dalam KBBI. Bisa diketahui dari contoh 'lokalisasi' dan 'pelokalan' yang memiliki makna sama, tapi bentuk terakhir lebih dianjurkan karena berkonotasi positif.
5. Kerap dipakai
Kata yang dimaksud di sini adalah sebuah kata yang sering atau kerap dipakai. Oleh karena itu, letaknya pun sangat penting sehingga bisa menjadi populer diungkapkan. Bukan karena itu saja! Akan tetapi, pemakaian sebuah kata pun bisa diukur menggunakan frekuensi dan julat.
Nah, hal-hal semacam itu pun bisa berupa cara untuk mengetahui bahwa kata-kata tersebut kerap dipakai atau tidak sehingga bisa efisien. Kemudian, harus diketahui juga bahwa cara kerja frekuensi dalam hal ini pun adalah kekerapan kemunculan kata dalam korpus, sedangkan julat adalah ketersebaran kemunculan kata tersebut di beberapa wilayah.
Nah, hal semacam itu pun bisa menjadi sebuah syarat untuk sebuah kata agar bisa masuk ke dalam KBBI. Oleh karena itu, hal semacam itu pun sangat penting. Ya, penting agar bisa diketahui bahwa sebuah kata untuk masuk atau terdaftar dalam kamus besar bahasa Indonesia itu tak mudah. Sebab, ada syarat-syaratnya yang harus dipenuhi.
Bukan hanya itu saja! Namun, salah satu kesatuan dalam semua itu pun harus bisa dipahami. Ya, dipahami agar mudah juga dalam mengusulkan ataupun lainnya. Sebab, beberapa syarat itu pun harus dipenuhi agar usulannya bisa didengar dan lainnya.